Sunday, 15 November 2020

JOHA SIGUMONRONG dan JOHI SIGUMONRONG

Ada informasi menarik ketika saya mencoba mengumpulkan semua data keturunan purba sigumonrong yang sudah menyebar kemana-mana bahkan ada beberapa yang tidak mengetahui kampung asal leluhurnya sebelum menetap pada kampung yang saat ini didiami. Informasi menarik tersebut datang dari keturunan purba sigumonrong yang saat ini menetap di Sarang Giting. Kampung Sarang Giting ini masuk lebih dalam lagi dari kampung Dolog Masihol di Kabupaten Serdang Bedagai.

Dari salah seorang keturunan purba sigumonrong yang ada di Sarang Giting yang bernama Lau Mancur Purba Sigumonrong diketahui bahwa Oppung Nono nya yang bernama Joha Purba Sigumonrong adalah marga purba sigumonrong yang pertama menetap di kampung Sarang Giting bahkan sampai saat ini purba sigumonrong yang menetap di kampung ini hanya keturunan dari Oppung Joha. Oppung Joha selama hidupnya sangat tertutup sekali dengan sejarah asal usulnya karena ada hal yang pahit dialaminya pada waktu tinggal di Raya sebelum menetap di Sarang Giting. Dari cerita yang dituturkan oleh keturunannya diketahui bahwa Oppung Joha asalnya dari Raya, tapi tidak jelas Raya yang mana. Dan sewaktu tinggal di Raya pernah suatu waktu makanan untuk Raja hilang dan kemudian ditemukan ada di rumah Oppung Joha, sehingga hal ini membuat Raja marah dan akan membunuhnya. Namun saat itu Oppung Joha tidak berada di dalam rumah. Dan ketika Oppung Joha hendak pulang ke rumahnya dari suatu tempat, dengan ilmu kesaktiannya ia mengetahui bahwa ia sedang ditunggu oleh pasukan Raja di rumahnya. Karena hal tersebut, diurungkannya niat pulang ke rumahnya karena khawatir akan ditangkap dan dibunuh. Dan ia pun kemudian pergi sejauh mungkin dari rumahnya saat itu untuk mencari tempat yang aman. Hingga akhirnya sampailah ia di Sarang Giting dan memulai kehidupan yang baru di sana.

Oppung Joha memiliki istri yang bernama Sarianna br Saragih Sumbayak. Dari istri boru Sumbayak lahir 5 orang anak laki-laki. Dari 5 orang anak laki-laki tersebut ada yang kembar. Sayangnya hanya 2 nama saja yang baru diketahui dengan jelas nama anak Oppung Joha ini. Anak yang pertama tidak diketahui namanya dan kemudian keluar dari Sarang Giting dan menetap di Juhar (tanah Karo) dan kemudian berganti marga menjadi Tarigan. Anaknya semua perempuan. Anak kedua dan ketiga dari Oppung Joha adalah kembar dan salah satunya bernama Siman Purba Sigumonrong dan lebih dikenal dengan sebutan Guru Siman. Guru Siman memiliki istri yang bernama Noni br Sipayung. Anak dari Guru Siman ini ada 3 yaitu Samuel, Nuriman dan Nuria (menikah dengan marga Saragih Dajawak dan tinggal di Silandoyung). Nama kembaran dari Guru Siman belum diketahui tapi anaknya ada 4 orang, 3 laki-laki (Buyung, Dehem dan Madin) dan 1 perempuan bernama Imah. Anak keempat dari Oppung Joha yaitu bernama Jomat Purba Sigumonrong yang keluar dari Sarang Giting dan menetap di kampung Pasangan, Sindar Raya. Oppung Jomat memiliki istri bernama Bunga Ronim br Saragih Garingging, dan memiliki 4 anak laki-laki (Tuit, Salam dan Usin) dan 3 anak perempuan (Iten, Rubiah dan Nursiah). Di Pasangan, Sindar Raya, Oppung Jomat ini dikenal dengan Si Nahei Bosi karena sebelah kakinya memakai kaki palsu dari besi. Dan anak kelima dari Oppung Joha belum diketahui namanya tapi anaknya perempuan ada 2 bernama Timah dan Dariah dan saat ini keturunannya tinggal di Sarang Giting.

Dan informasi lain yang lebih menarik adalah bahwa Oppung Joha memiliki saudara yang bernama Johi. Sejauh data yang sudah saya kumpulkan mengenai keturunan purba sigumonrong, tak ada satu pun purba sigumonrong yang bernama Johi selain Johi sipukkah huta Bahapal Raya, yang adalah Oppung Nono saya.

Sehingga yang menjadi pertanyaan, benarkah Oppung Johi bersaudara kandung dengan Oppung Joha?

Dari silsilah purba sigumonrong keturunan dari Bahapal Raya yang ditulis pertama kali oleh Bapatua Djasminer Purba Sigumonrong (alm) tahun 1991 juga tidak ada tertulis nama Joha dalam silsilah tersebut. Oppung Johi dicatat adalah anak pertama dari Suhut Purba Sigumonrong. Saudara Oppung Johi adalah Oppung Arab, Oppung Ronggainim dan Oppung Sorahmin.

Mengenai Oppung Joha ini akhirnya pernah saya tanyakan juga kepada tutur orangtua keturunan dari Bahapal Raya dan tidak ada yang mengetahui jika ada saudara Oppung Johi yang bernama Oppung Joha yang menetap di Sarang Giting. Satu-satunya informasi yang didapat dari Ibunya Lau Mancur Purba Sigumonrong di Sarang Giting bahwa sekitar tahun 1970an Bapatua Arpinus Purba Sigumonrong (alm) yang waktu itu bekerja di dinas kehutanan pernah ditugaskan ke Sarang Giting dan akhirnya singgah dan bermalam di rumahnya Bapa Samuel Purba Sigumonrong (ayahnya Kandi Moro dan Lau Mancur Sigumonrong) di Sarang Giting dan mereka saling bercerita mengenai asal usulnya. Cerita yang disampaikan oleh Bapa Samuel seperti cerita tentang Oppung Joha di atas juga ternyata belum pernah didengar oleh Bapatua Arpinus. Tak lama kemudian Bapatua Arpinus pun menceritakan langsung kepada bapanya yaitu Oppung Adam Esmar mengenai kisah dari Oppung Joha tersebut. Dan katanya cerita itu dibenarkan oleh Oppung Adam.

Jadi, benarkah Oppung Johi memiliki saudara kandung yang lain bernama Oppung Joha?

 

Masih perlu banyak informasi dan penelusuran lebih dalam supaya sampai pada kesimpulan bahwa Oppung Johi memiliki saudara kandung lain yang bernama Oppung Joha.

 

Jakarta, 15 November 2020

 Darwin Sigumonrong

(Pan Azaryas)

Sunday, 23 August 2020

Perjalanan Sigumonrong Dari Tingkos Sampai Tiba Di Bahapal Raya


Sigumonrong yang ada di Bahapal Raya adalah keturunan Sigumonrong yang pada mulanya menetap di Raya Dolog, yaitu wilayah yang dibuka pertama kali dan dipimpin oleh keturunan dari Raja Raya, khususnya dari keturunan Tuan Adopraya Saragih Garingging yang kemudian lebih dikenal dengan Saragih Garingging Rumah Bayu.

Keturunan Tuan Adopraya yang pertama kali menetap di Raya Dolog dan sekaligus menjadi Tuan Raya Dolog yang pertama adalah Tuan Tagor Saragih Garingging Rumah Bayu. Sebelumnya Tuan Tagor menetap di Pamatang Raya bersama orangtuanya.

Dan Sigumonrong yang pertama ikut menetap di Raya Dolog bernama Suhut dan Urungtama. Mereka berdua bersaudara kandung dan dilahirkan dari putrinya Tuan Adopraya. Mereka juga yang mengemban tugas sebagai Anak Boru Huta di Raya Dolog. Semasa hidup mereka berdua tak banyak informasi yang didapatkan, selain sebagai panglima perang pada masa Raja Raya dipimpin oleh Tuan Rondahaim yang dikenal dengan sebutan Tuan Raya Namabajan. Informasi yang didapatkan bahwa mereka tewas dalam peperangan sehingga tidak diketahui dimana kuburannya.

Keturunan dari Suhut dan Urungtama inilah yang kemudian terus menetap di Raya Dolog dan terus mengemban tugas sebagai Anak Boru Huta. Anak laki-laki dari Suhut yang dilahirkan dari putrinya Tuan Raya Dolog adalah Djohi dan Arab dan satu orang putri yang bernama Ronggainim. Kemudian diketahui ada satu lagi anaknya laki-laki dari istri yang lain bernama Sorahmin yang menetap di Tinggi Saribu. Sedangkan anak dari Urungtama yang diketahui hanya 1 yaitu bernama Jahadam.

Di kemudian hari, anak-anak dari Suhut dan Urungtama ini keluar dari Raya Dolog dan membuka perkampungan baru yang tak jauh dari Raya Dolog yang kemudian dikenal dengan nama Bahapal Raya. Anak laki-laki pertama dari Suhut yang bernama Djohi yang menjadi kepala perkampungan tersebut. Tak lama kemudian, saudara Djohi yang bernama Arab hijrah ke Sindar Raya dan kemudian menetap di sana. Sampai sekarang, keturunan dari Arab masih banyak yang tinggal dan menetap di Sindar Raya.

Saudara Suhut dan Urungtama lain ibu adalah Torangin dan Jorbaik. Ayah mereka bernama Maradat. Kemungkinan besar Maradat Sigumonrong tinggal dan menetap di Pamatang Raya. Sampai saat ini belum diketahui siapa saudara dari Maradat dan siapa orangtuanya. Dan sebelum menetap di Pamatang Raya, belum diketahui dengan jelas darimana asalnya. Tapi kemungkinan dari 2 tempat yaitu datang dari Tingkos yang adalah tempat asal mula dari marga Purba Sigumonrong. Atau kemungkinan dari Longkung. Longkung pada masa jayanya adalah tempat dimana sebagian besar dihuni oleh marga Purba Sigumonrong dan akhirnya dikenal dengan Tuan Longkung. Tapi yang menetap di Longkung ini asal mulanya juga dari Tingkos. Dan jarak dari Longkung ke Pamatang Raya tidaklah jauh. Jadi ada kemungkinan yang dari Longkung ini hijrah ke Pamatang Raya dan kemudian diangkat menjadi Anak Boru Raya di Pamatang Raya.


Saturday, 30 May 2020

Pindah dan Tinggal di Raya Dolog

Keluarga Jaulung, Ibu dan adik-adiknya sadar bahwa mereka membutuhkan keluarga dekat. Karena itu mereka sepakat untuk pindah dari Sinondang ke Raya Dolog. Alasan mereka pindah karena saudara laki-laki  dari Ongga, si Ibu janda tinggal di sana yaitu Johi, Arab dan Jahadam. Untuk mengangkat barang-barangpun tidak ada bantuan. Harus dikerjakan sendiri. Mereka berjalan melewati padang yang luas, melewati tempat-tempat yang berbahaya karena masih ada kerbau yang liar. Mereka berjalan sambil mengangkat barang melalui Bah Mayu, melewati Gunung (nama tempat) sampai ke Raya Dolog.

Mereka harus menumpang dulu di rumah keluarga Gatin, anak Tuan Raya Dolog, saudara sepupu Ongga boru Purba. Perpindahan ini sekitar pertengahan tahun 1905. Mereka masih bingung, apakah yang akan mereka kerjakan? Untuk membuka lahan baru harus dapat menebang pohon yang besar-besar. Jaulung belum mampu. Karena itu keluarga baru ini mencari ladang galunggung (ladang yang ditinggalkan yang masih dapat dipakai). Mereka membuka ladang di 4 tempat. Penduduk Raya Dolog saat itu banyak kekurangan pangan. Sering mereka mencari makanan sampai ke Sinondang dan menukarnya dengan ikan. Di Raya Dolog banyak sungai kecil-kecil jadi mudah mencari ikan

Tidak berapa lama paman Jaulung pun pindah dari Raya Dolog ke Parsimagodan. Keluarga Jaulung pun turut pindah dengan maksud untuk membuka perkampungan baru. Paman Jaulung pindah karena suruhan Raja Raya. Perpindahan itu sebenarnya hanya jarak 2 KM saja. Kembali lagi membuka lahan baru. Mereka bersyukur karena tanah di Parsimagodan jauh lebih subur. Jaulung pun belajar mendirikan gubuk bagi mereka diajari  dan dibantu pamannya. Gubuk ini hanya beratap bambu, dinding juga dari bambu, juga lantai dari bambu. Gubuk itupun dibangun di samping rumah pamannya

 

Kisah di atas diambil dari halaman 20 buku Otobiografi Pdt J Wismar Saragih yang ditulis ulang oleh Amboru Pdt Minaria br Sumbayak dan Makela Jaiman Sumbayak.